Senin, 09 Maret 2009

KOMPETENSI SOSIAL KEMAMPUAN BERADAPTASI SEORANG GURU

Apakah kompetensi sosial? Pakar psikologi pendidikan Gadner (1983) menyebut kompetensi sosial itu sebagai social intellegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner) yang berhasil diidentifikasi oleh Gadner.

Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang. Hanya saja, mungkin beberapa di antaranya menonjol, sedangkan yang lain biasa atau bahkan kurang. Uniknya lagi, beberapa kecerdasan itu bekerja secara padu dan simultan ketika seseorang berpikir dan atau mengerjakan sesuatu (Amstrong, 1994).

Relevansi dengan apa yang dikatakan oleh Amstrong itu ialah bahwa walau kita membahas dan berusaha mengembangkan kecerdasan sosial, kita tidak boleh melepaskannya dengan kecerdasan-kecerdasan yang lain. Hal ini sejalan dengan kenyataan bahwa dewasa ini banyak muncul berbagai masalah sosial kemasyarakatan yang hanya dapat dipahami dan dipecahkan melalui pendekatan holistik, pendekatan komprehensif, atau pendekatan multidisiplin.

Kecerdasan lain yang terkait erat dengan kecerdasan sosial adalah kecerdasan pribadi (personal intellegence), lebih khusus lagi kecerdasan emosi atau emotional intellegence (Goleman, 1995). Kecerdasan sosial juga berkaitan erat dengan kecerdasan keuangan (Kiyosaki, 1998). Banyak orang yang terkerdilkan kecerdasan sosialnya karena himpitan kesulitan ekonomi.

Dewasa ini mulai disadari betapa pentingnya peran kecerdasan sosial dan kecerdasan emosi bagi seseorang dalam usahanya meniti karier di masyarakat, lembaga, atau perusahaan. Banyak orang sukses yang kalau kita cermati ternyata mereka memiliki kemampuan bekerja sama, berempati, dan pengendalian diri yang menonjol.

Dari uraian dan contoh-contoh di atas dapat kita singkatkan bahwa kompetensi sosial adalah kemampuan seseorang berkomunikasi, bergaul, bekerja sama, dan memberi kepada orang lain. Kompetensi sosial ialah kemampuan seorang guru dan dosen untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, guru, orang tua, dan masyarakat sekitar.

Inilah kompetensi sosial yang harus dimiliki oleh seorang pendidik yang diamanatkan oleh UU Guru dan Dosen, yang pada gilirannya harus dapat ditularkan kepada anak-anak didiknya.

Untuk mengembangkan kompetensi sosial seorang pendidik, kita perlu tahu target atau dimensi-dimensi kompetensi ini. Beberapa dimensi ini, misalnya, dapat kita saring dari konsep life skills (www.lifeskills4kids.com). Dari 35 life skills atau kecerdasan hidup itu, ada 15 yang dapat dimasukkan ke dalam dimensi kompetensi sosial, yaitu: (1) kerja tim, (2) melihat peluang, (3) peran dalam kegiatan kelompok, (4) tanggung jawab sebagai warga, (5) kepemimpinan, (6) relawan sosial, (7) kedewasaan dalam berelasi, (8) berbagi, (9) berempati, (10) kepedulian kepada sesama, (11) toleransi, (12) solusi konflik, (13) menerima perbedaan, (14) kerja sama, dan (15) komunikasi.

Kelima belas kecerdasan hidup ini dapat dijadikan topik silabus dalam pembelajaran dan pengembangan kompetensi sosial bagi para pendidik dan calon pendidik. Topik-topik ini dapat dikembangkan menjadi materi ajar yang dikaitkan dengan kasus-kasus yang aktual dan relevan atau kontekstual dengan kehidupan masyarakat kita.

Materi ajar atau pelatihan itu disampaikan untuk mencapai pemahaman dan internalisasi nilai-nilai para peserta didik. Metode penyampaiannya dapat mengadopsi metode Tillman/UNESCO dalam pembelajaran living values (Grasindo, 2004). Metode yang bersifat edutaiment ini mengandung unsur permainan, inkuiri, dan eksplorasi, baik eksplorasi potensi diri maupun potensi lingkungan.

Bagaimana mengemasnya? Kemasan pengembangan kompetensi sosial untuk guru, calon guru (mahasiswa keguruan), dan siswa tentu berbeda. Kemasan itu harus memerhatikan karakteristik masing-masing, baik yang berkaitan dengan aspek psikologis ketiga kelompok itu maupun sistem yang mendukungnya.

Model pelatihan yang bersifat edutaiment cocok untuk para guru dan dosen. Karena jumlah guru dan dosen itu sangat banyak, dapat digunakan pelatihan berjenjang deret ukur TOT (training of trainer). Semua perlu persiapan yang matang karena kerja ini menuntut persyaratan keunggulan kualitas, ketepatan, dan kecepatan. Hal yang disebut terakhir ini perlu mendapat perhatian khusus karena UU Guru dan Dosen mengamanatkan proses sertifikasi kompetensi ini harus selesai dalam sepuluh tahun sejak UU itu disahkan.

Untuk para mahasiswa, khususnya calon guru, dapat dimasukkan ke dalam mata kuliah dasar, seperti ”ilmu sosial dasar” yang sejajar dengan mata kuliah ”ilmu budaya dasar” dan ”ilmu sains dasar” dengan perubahan paradigma. Kalau sebelumnya ilmu sosial dasar berorientasi kepada penyampaian pengetahuan, dalam paradigma baru ini perlu ditambah dan ditekankan pada penanaman nilai-nilai atau kearifan-kearifan sosial.

Barangkali ada yang ragu dengan cara memadukan atau menyelipkan ke dalam mata pelajaran lain. Alasannya, beban materi pelajaran itu sendiri sudah sangat berat. Asal kita bisa bertindak kreatif dan cerdas kesulitan ini tidak sulit diatasi. Misalnya, penanaman nilai toleransi dengan mudah dan tidak menambah beban mata pelajaran Bahasa Indonesia dengan cara menyisipkan ke materi bacaan atau wacana, misalnya lewat cerpen atau dongeng. Hal yang sama dapat dilakukan pada mata pelajaran lain.

Hal yang sangat mendesak berkaitan dengan pelatihan, pembelajaran, dan sertifikasi guru dan dosen (khususnya yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan kepribadian karena ini hal baru) adalah pengembangan pemahaman kompetensi ini yang komprehensif, yang dapat diterima oleh banyak pihak. Sampai saat ini sudah banyak seminar tentang UU Guru dan Dosen diadakan, tetapi kita belum sampai atau memiliki pemahaman yang komprehensif terhadap kedua kompetensi ini. Hal kedua yang sangat mendesak adalah penyediaan silabus dan materi latihan atau ajar untuk mengembangkan kompetensi ini.
Apabila dunia pendidikan bisa menjawab tantangan pengembangan kompetensi sosial ini secara cepat dan tepat, mudah- mudahan 10 tahun mendatang kita ebih banyak memiliki insan yang lebih demokratis, lebih toleran, dan memiliki tanggung jawab sosial yang lebih besar.

Kompetensi sosial pada poin ke 3 adalah,
Beradaptasi di tempat bertugas di seluruh wilayah Republik Indonesia yang memiliki keragaman sosial budaya.

Sub poin dari kompetensi sosial diatas adalah,
 Beradaptasi dengan lingkungan tempat bekerja dalam rangka meningkatkan efektivitas sebagai pendidik.
 Melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan.

Dari poin tersebut maksudnya yaitu seorang guru bersedia ditempatkan dan ditugaskan dimanapun dia berada. Selain itu, seorang guru diharapkan pula mampu beradaptasi dengan lingkungan tempat ia ditugaskan.
Pada kurikulum KTSP, dijelaskan bahwa kurikulum tersebut menekankan pada pengembangan kemampuan peserta didik, sehingga dengan adaptasi yang baik dari seorang guru dimana ia ditugaskan, guru tersebut mampu melihat pola interaksi yang dipakai atau diterapkan dalam lingkungan tersebut, sehingga guru mampu membuat suatu metode yang bersifat inklusif, sehingga anak didik itu mampu menyerap apa yang disampaikan oleh pendidik dengan baik. Karena metode ceramah lebih banyak diterapkan dalam proses belajar mengajar sehari-hari, guru mampu memposisikan diri dengan lingkungan tempat ia mengajar, sehingga tujuan dari proses belajar mengajar itu dapat berhasil dengan metode ceramah terebut.

Dengan penerapan kurikulum KTSP yang menekankan pada sasaran pembelajaran, sehingga guru dapat memilih materi-materi pembelajaran yang efektif dan berguna sesuai dengan kondisi lingkungan dimana ia mengajar.

Namun demikian, banyak guru yang ditugaskan di daerah-daerah terpencil atau pedalaman, merasa tidak betah karena sarana dan prasarana yang tidak memadai seperti dimana tempat ia tinggal sebelumnya. Padahal sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 16 Tahun 2007 mengenai kompetensi sosial pada poin diatas, seharusnya guru bersedia ditempatkan dimanapun dia berada. Guru diharuskan profesional dengan peraturan tersebut. Guru juga diharuskan memiliki kompetensi dalam hal adaptasi dengan lingkungan dimanapun di seluruh Indonesia yang memiliki keragaman sosial dan budaya yang berbeda dengan daerah asalnya.

Guru bukan hanya bertugas dikelas. Guru juga merupakan panutan dan teladan bagi lingkungan. Sehingga, guru diharuskan dapat berkomunikasi juga dengan lingkungan. Dengan hubungan sosial yang baik dengan lingkungannya, guru dapat bekerjasama dengan tokoh masyarakat guna melaksanakan berbagai program dalam lingkungan kerja di sekolahnya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pendidikan di daerah yang bersangkutan tersebut. Contohnya, jika guru perempuan dapat aktif di PKK daerah tersebut, maka guru juga dapat mengajarkan ilmu atau keterampilan yang dimilikinya guna diajarkan kepada masyarakat. Jika guru laki-laki, dapat berperan dalam pembinaan karag taruna atau pembinaan terhadap remaja masjid atau mushalla di daerah pedalaman atau terpencil tersebut. Jadi, selain dapat mencerdaskan peserta didiknya, guru juga dapat membina serta bersosialisasi dengan baik terhadap lingkungannya. Dengan demikian, guru dapat memberikan manfaat kepada lingkungan dimana ia ditugaskan serta dapat pula menjalankan tugasnya dengan baik. Apabila guru tersebut telah berdedikasi terhadap lingkungannya, maka guru yang tidak betah tersebut dapat beradaptasi dan bertahan di tempat ia ditugaskan.
Read more...